Oleh: Syakier Anwar
Kecenderungan kaum Wahabi, Salafi, atau kelompok mutan lainnya untuk langsung
merujuk – dalam segala hal – kepada kitab dan sunnah tanpa peduli dengan pendapat para
sumber: serambi salafi
ulama dan kaidah-kaidah yang sudah mantap memang sudah nyata daya rusaknya. Setidaknya begitu dakwaan mereka, meski dalam prosesnya mereka pada hakikatnya tetap merujuk pendapat ulama yang menurut mereka semanhaj. Praktik salah kaprah “kembali kepada kitab dan sunnah” ini, khususnya dalam urusan hukum fikih, sayangnya berlaku secara umum dan masif di kalangan pengusungnya, mulai dari awam sampai yang diduga alim. Yaa, ujung-ujungnya kembali kepada pendapat ulama yang mereka seleksi sendiri secara ketat berdasar argumen-argumen lemah adalah ciri khas mereka. “Berdasar pemahaman para salaf” katanya, tapi salafnya versi ulama abad ketujuh. Hahaha….
Di sisi lain, dalam tubuh Ahlussunnah sendiri juga ada beberapa kecenderungan yang tidak sehat. Meski tidak masif, masih di tingkat para pelajar, namun sudah nampak melahirkan kerancuan-kerancuan kesimpulan. Praktik tidak sehat yang menimpa para mutafakkih a.k.a pelajar fikih tersebut di antaranya adalah cenderung bergantung kepada kaidah-kaidah fikhiyah dalam mencari hukum suatu perkara. Dalam banyak kesempatan, di ruang diskusi atau majlis-majlis ilmu, banyak persoalan baru yang belum jelas hukumnya langsung dicarikan dalilnya dari kaidah fikih. Kecenderungan ini, laiknya dakwaan kembali
kepada kitab dan sunnah, sangat tidak sehat bila dilakukan secara serampangan dan bukan
oleh ahlinya. Karena, secara kasar, dapat menghasilkan produk hukum yang rancu dan jauh dari kebenaran.
Biar jelas, ambil contoh masalah yang masih hangat diperbincangkan, yakni bitcoin
dan sejenisnya. Akan sangat berbahaya andai seorang mutafakkih dengan gampangnya
menjawab hukum ini hanya dengan kaidah “al-hajatu tunazzalu manzilat al-dharurat…..”
semata tanpa menghiraukan sudut pandang dan dalil-dalil lainnya. Mungkin kita juga
sudah sering menjumpai sebagian mutafakkih yang berlebihan dalam menjadikan kaidah
“al-‘aadatu muhakkamah” dalam hampir banyak perkara kontemporer khususnya dalam menyikapi persoalan budaya setempat.
Pada dasarnya, ada perbedaan pendapat ulama tentang perkara apakah kaidah fikih bisa langsung dijadikan sandaran hukum. Ada yang ulama yang bilang bahwa kaidah fikih
tidak bisa dijadikan dalil hukum, karena ia hanya sekadar kumpulan ketentuan umum dari turunan-turunan fikih yang maha luas itu. logika kelompok ini jelas, bahwa kaida fikih
bukanlah dalil hukum, jangankan dalam yang muttafaq ‘alaih, dalam kategori dalil-dalil
mukhtalaf fihi saja ia tidak masuk. Ada juga yang memiliki pandangan bahwa kaidah fikih
bisa langsung dijadikan dalil hukum, karena ia tak lain adalah istinbat para ulama dan
sebagiannya sudah mencapai derajat mujma’ ‘alaih. Maka pada akhirnya berdalil dengan
kaidah adalah berdalil dengan ijma’. Ada juga kelompok ketiga yang mengatakan bahwa
perkara menjadikan kaidah fikih sebagai dalil hukum harus dirincikan, ada kaidah yang
langsung bisa dijadikan dalil, ada yang tidak.
Pendapat yang ketiga ini tentu mendapat sambutan yang banyak dari kalangan ulama dan memiliki dasar yang kokoh. Berikut ini beberapa alasan kenapa pendapat yang
ketiga unggul dari pendapat lain. Pertama, harus diketahui bahwa kaidah-kaidah fikih
sejatinya dibuat sebagai sarana mengumpulkan furu’ alias turunan-turunan fikih yang sangat banyak itu. Dengan kaidah, masalah-masalah yang berbeda yang tersebar dalam bab-bab berbeda tapi memiliki ilat yang sama atau ma’na musytarak dapat disimpulkan dan ditelaah dalam satu kaidah yang singkat. Mengetahui ikatan antar masalah tentunya akan sangat memudahkan mutafakkih dalam mempelajari ilmu kehidupan ini.
Kedua, karena kaidah ini adalah pengikat antar banyak turunan fikih, ia pun tak beda dengan turunan-turunan tersebut. Makanya ada kaidah yang langsung bersumber dari ayat maupun hadis seperti kaidah “al-dhararu yuzaalu”, ada pula kaidah yang disimpulkan dan ditarik oleh para ulama dari nash syara’ atau dari sekumpulan turunan hukum yang memiliki
persamaan makna dan kaidah ini lah yang paling banyak dijumpai. Nah, dari sini sudah jelas bahwa dalam konteks kaidah kedua, seorang mutafakkih tidak bisa langsung memasukkan atau mengeluarkan sebuah hukum dari kaidah model kedua tanpa mengetahui hal yang melatarbelakangi pembentukannya.
Ketiga, selain dari segi sumber, kaidah-kaidah tersebut tidak berada pada derajat
yang sama. Ada kaidah yang cakupannya hampir seluruh bab-bab dalam fikih, seperti lima kaidah utama yang masyhur itu. Ada juga kaidah yang hanya memiliki satu turunan dan
dalam satu bab saja. Imam Sayuti menjadikan kaidah “man ista’jala bi syai’in qabla awanihi….” sebagai kaidah model kedua. Ulama ensiklopedis barusan dalam kitabnya yang
monumental, al-Asybah wa al-Nazair, bahkan mencacah kaidah fikih dari segi cakupan
kepada empat model. Ada kaidah model pertama yang disebut barusan. Beliau menamainya qawa’id kubra. Ada yang cakupannya lebih sedikit ketimbang qawa’id kubra. Ada empat puluh kaidah model ini yang beliau sebut dalam Asybah-nya. Model ketiga adalah kaidah yang masih diperdebatkan, makanya beliau menulisnya dalam bentuk pertanyaan. Terakhir adalah model kaidah yang kebanyakannya lebih cocok menjadi dhabit karena hanya mencakup turunan-turunan dalam bab tertentu.
Keempat, dan menjadi terakhir dalam tulisan singkat ini, adalah kaidah-kaidah fikih itu memiliki mustasnayat alias pengecualian. Ada banyak kasus-kasus yang lahirnya nampak masuk dalam satu kaidah tapi karena ada dalil atau ilat lain ia menjadi kasus anomali dari kaidah tersebut. Bisa dibayangkan bila seorang mutafakkih yang minim wawasan fikih dan ushul-nya langsung mencocokkan suatu kasus baru dengan suatu kaidah. Bisa-bisa kasus yang dimasukkan dalam suatu kaidah adalah kasus yang hakikatnya harus dikeluarkan.
Akhir kalam, masih ada beberapa alasan pendapat ketiga di atas dirajihkan. Namun,
dengan mengetahui beberapa di antaranya saja sudah cukup untuk membuat seorang
mutafakkih berhati-hati dalam berdalil dengan kaidah. Tak usah banyak gaya, bila tak tahu
tanyakan ke guru, jangan sok tau kasih jawaban ke masyarakat hanya dengan modal
satu-dua kaidah yang ngerti pun belum tentu. Di samping itu, akan terlihat aneh bila kita
menyalahkan wahabi dan yang sebaris dengannya karena – dalam anggapan mereka – langsung kembali kepada kitab dan sunnah, namun pada saat yang sama kita sendiri
melakukan hal yang tak jauh berbeda celanya. Kan, ngga lucu, semut di seberang lautan
nampak, Zunisha di depan mata tak terlihat.
kepada kitab dan sunnah, sangat tidak sehat bila dilakukan secara serampangan dan bukan
oleh ahlinya. Karena, secara kasar, dapat menghasilkan produk hukum yang rancu dan jauh dari kebenaran.
Biar jelas, ambil contoh masalah yang masih hangat diperbincangkan, yakni bitcoin
dan sejenisnya. Akan sangat berbahaya andai seorang mutafakkih dengan gampangnya
menjawab hukum ini hanya dengan kaidah “al-hajatu tunazzalu manzilat al-dharurat…..”
semata tanpa menghiraukan sudut pandang dan dalil-dalil lainnya. Mungkin kita juga
sudah sering menjumpai sebagian mutafakkih yang berlebihan dalam menjadikan kaidah
“al-‘aadatu muhakkamah” dalam hampir banyak perkara kontemporer khususnya dalam menyikapi persoalan budaya setempat.
Pada dasarnya, ada perbedaan pendapat ulama tentang perkara apakah kaidah fikih bisa langsung dijadikan sandaran hukum. Ada yang ulama yang bilang bahwa kaidah fikih
tidak bisa dijadikan dalil hukum, karena ia hanya sekadar kumpulan ketentuan umum dari turunan-turunan fikih yang maha luas itu. logika kelompok ini jelas, bahwa kaida fikih
bukanlah dalil hukum, jangankan dalam yang muttafaq ‘alaih, dalam kategori dalil-dalil
mukhtalaf fihi saja ia tidak masuk. Ada juga yang memiliki pandangan bahwa kaidah fikih
bisa langsung dijadikan dalil hukum, karena ia tak lain adalah istinbat para ulama dan
sebagiannya sudah mencapai derajat mujma’ ‘alaih. Maka pada akhirnya berdalil dengan
kaidah adalah berdalil dengan ijma’. Ada juga kelompok ketiga yang mengatakan bahwa
perkara menjadikan kaidah fikih sebagai dalil hukum harus dirincikan, ada kaidah yang
langsung bisa dijadikan dalil, ada yang tidak.
Pendapat yang ketiga ini tentu mendapat sambutan yang banyak dari kalangan ulama dan memiliki dasar yang kokoh. Berikut ini beberapa alasan kenapa pendapat yang
ketiga unggul dari pendapat lain. Pertama, harus diketahui bahwa kaidah-kaidah fikih
sejatinya dibuat sebagai sarana mengumpulkan furu’ alias turunan-turunan fikih yang sangat banyak itu. Dengan kaidah, masalah-masalah yang berbeda yang tersebar dalam bab-bab berbeda tapi memiliki ilat yang sama atau ma’na musytarak dapat disimpulkan dan ditelaah dalam satu kaidah yang singkat. Mengetahui ikatan antar masalah tentunya akan sangat memudahkan mutafakkih dalam mempelajari ilmu kehidupan ini.
Kedua, karena kaidah ini adalah pengikat antar banyak turunan fikih, ia pun tak beda dengan turunan-turunan tersebut. Makanya ada kaidah yang langsung bersumber dari ayat maupun hadis seperti kaidah “al-dhararu yuzaalu”, ada pula kaidah yang disimpulkan dan ditarik oleh para ulama dari nash syara’ atau dari sekumpulan turunan hukum yang memiliki
persamaan makna dan kaidah ini lah yang paling banyak dijumpai. Nah, dari sini sudah jelas bahwa dalam konteks kaidah kedua, seorang mutafakkih tidak bisa langsung memasukkan atau mengeluarkan sebuah hukum dari kaidah model kedua tanpa mengetahui hal yang melatarbelakangi pembentukannya.
Ketiga, selain dari segi sumber, kaidah-kaidah tersebut tidak berada pada derajat
yang sama. Ada kaidah yang cakupannya hampir seluruh bab-bab dalam fikih, seperti lima kaidah utama yang masyhur itu. Ada juga kaidah yang hanya memiliki satu turunan dan
dalam satu bab saja. Imam Sayuti menjadikan kaidah “man ista’jala bi syai’in qabla awanihi….” sebagai kaidah model kedua. Ulama ensiklopedis barusan dalam kitabnya yang
monumental, al-Asybah wa al-Nazair, bahkan mencacah kaidah fikih dari segi cakupan
kepada empat model. Ada kaidah model pertama yang disebut barusan. Beliau menamainya qawa’id kubra. Ada yang cakupannya lebih sedikit ketimbang qawa’id kubra. Ada empat puluh kaidah model ini yang beliau sebut dalam Asybah-nya. Model ketiga adalah kaidah yang masih diperdebatkan, makanya beliau menulisnya dalam bentuk pertanyaan. Terakhir adalah model kaidah yang kebanyakannya lebih cocok menjadi dhabit karena hanya mencakup turunan-turunan dalam bab tertentu.
Keempat, dan menjadi terakhir dalam tulisan singkat ini, adalah kaidah-kaidah fikih itu memiliki mustasnayat alias pengecualian. Ada banyak kasus-kasus yang lahirnya nampak masuk dalam satu kaidah tapi karena ada dalil atau ilat lain ia menjadi kasus anomali dari kaidah tersebut. Bisa dibayangkan bila seorang mutafakkih yang minim wawasan fikih dan ushul-nya langsung mencocokkan suatu kasus baru dengan suatu kaidah. Bisa-bisa kasus yang dimasukkan dalam suatu kaidah adalah kasus yang hakikatnya harus dikeluarkan.
Akhir kalam, masih ada beberapa alasan pendapat ketiga di atas dirajihkan. Namun,
dengan mengetahui beberapa di antaranya saja sudah cukup untuk membuat seorang
mutafakkih berhati-hati dalam berdalil dengan kaidah. Tak usah banyak gaya, bila tak tahu
tanyakan ke guru, jangan sok tau kasih jawaban ke masyarakat hanya dengan modal
satu-dua kaidah yang ngerti pun belum tentu. Di samping itu, akan terlihat aneh bila kita
menyalahkan wahabi dan yang sebaris dengannya karena – dalam anggapan mereka – langsung kembali kepada kitab dan sunnah, namun pada saat yang sama kita sendiri
melakukan hal yang tak jauh berbeda celanya. Kan, ngga lucu, semut di seberang lautan
nampak, Zunisha di depan mata tak terlihat.
0 Komentar