Oleh: Maulizal Akmal
Saya teringat perkataan seorang filosof muslim Mesir, Dr. Mahmud Hamdi Zakzouk dalam bukunya, Ilmu fi al-Muqaranah Falsafiah, bahwa turast insani (warisan manusia) adalah memberi dan menerima, begitulah kaidah dalam kehidupan. Tak ada dalam sejarah peradaban umat manusia, suatu bangsa atau sebuah peradaban yang tidak memberi atau meninggalkan warisan bagi peradaban setelahnya. Dan sangat tidak masuk akal, jika ada bangsa yang memulai sebuah peradaban dari nol tanpa berpaling kepada warisan orang lain dan menutup mata terhadap pencapaian orang sebelumnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh seorang intelek Barat asal Inggris, Thomas Paine dalam bukunya, Mantik Salim (ini nama yang masyhur dalam literatur Arab). Ia mengatakan bahwa bangsa yang datang kemudian pasti mengambil dari peradaban sebelumnya, dan peradaban yang lahir lebih dulu juga akan mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan oleh yang datang kemudian.
Mari kita lihat contohnya. Mantik, ilmu logika kritis yang berkembang pesat di tangan umat Islam, banyak sekali karya-karya luar biasa dan kitab-kitab kelas tinggi yang sangat sulit dipahami telah ditulis oleh ulama Islam, sebenarnya adalah karya dari seorang filosof Yunani kuno, Aristoteles, beratus tahun sebelum masehi. Manhaj qiyas akli yang dikembangkan oleh kamu muslimin adalah bikinannya orang Yunani, kitab mantik apapun yang kita baca tetap akan disebut di lembaran pengantarnya bahwa wadhi’ ilmu ini adalah seorang Filsuf Yunani. Bahkan ketika masa pemerintahan Abbasiyah, banyak sekali buku-buku Yunani yang diterjemah ke dalam bahasa Arab. Umat Islam tidak menolak semua hasil karya umat sebelumnya, juga tidak menerima semuanya, hanya apa yang sesuai dengan syariatnya saja.
Begitu juga teori yang dikembangkan oleh Bapak filosof Barat, Rene Descartes (W 1650 M) dalam bukunya Meditationes de prima Philosophia dan Discours de la methode, sudah ditulis beratus tahun yang lalu oleh ulama Islam, Abi Hamid al-Ghazali dalam bukunya Munqidh min adh-Dhalal dan Mi’yar al-Ulum. Jadi, teori itu sebenarnya adalah milik Imam al-Ghazali yang kemudian berkembang di tangan Rene Descartes. walau sekarang banyak tokoh intelektual Eropa yang menisbahkan teori ini kepada Sir Descartes.
Contoh lain, salah satu metode keilmuan yang katanya metode modern, yaitu manhaj istiqra’ atau disebut metode induksi yang berkembang pesat di tangan Barat, sehingga dianggap sebagai ruh peradaban Barat. Mereka menisbahkan metode ini kepada seorang filosof Inggris, Francis Bacon. Padahal sebenarnya metode tajribah ini telah digunakan ratusan tahun lalu oleh ilmuan Islam, Ibnu al-Haytsam.
Kendatipun sekarang, jika kita masuk ke dunia literatur Barat, yang dianggap sebagai pencetus manhaj untuk menemukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan adalah Pak Rene Descartes, dan peletak pertama ketentuan metode ilmiah induksi adalah, Sir Francis Bacon.
Dr. Muhammad Anwar Hamid, salah seorang dosen di Universitas al-Azhar dalam bukunya Nadharat fi al-Mantiq Hadits mengatakan bahwa, sebenarnya di sinilah letak perbedaan peradaban kita dengan peradaban mereka (Barat), peradaban kita selalu memegang teguh dengan yang namanya amanah ilmiah. Sebuah pendapat atau teori harus dinisbahkan kepada pemiliknya dan ditulis namanya, ya, paling kurang ada petunjuk bahwa teori tersebut adalah miliknya.
Sedangkan mereka tidak menjunjung tinggi amanah ilmiah, mereka hanya fanatik terhadap motivasi dan slogan hidup mereka yang menganggap bahwa mereka adalah bangsa Arya yang bisa berkembang dan berpikir maju. Sedangkan kita adalah bangsa Semit yang kolot dan kaku serta tidak bisa berpikir produktif.
Padahal jika kita menilik kembali dalam sejarah, di abad pertengahan, Eropa masih penuh dengan hutan-hutan belantara dan merupakan daerah yang terbelakang, rumah-rumah masih dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan bambu dan jerami. Mereka tidak mengenal kebersihan, kotoran hewan dan sampah dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk yang meresahkan. Jalan-jalan raya tidak ada saluran airnya, tidak ada selekon, semen, batu-batu pengeras, apalagi lampu.
Sedangkan umat Islam sebaliknya, kita punya peradaban mewah dan maju di berbagai bidang. Di saat orang Eropa masih percaya takhayul, umat Islam sudah merumuskan berbagai macam metode ilmiah. Seperti manhaj Istiqara’ atau metode induksi yang telah kita sebut di atas, yang merupakan pembahasan paling pokok dalam ilmu mantik modern, dengan metode inilah bisa lahirnya berbagai macam teori dan hukum dalam berbagai ilmu pengetahuan hingga bisa menciptakan beragam penemuan.
Nah, metode yang dianggap modern ini sudah lebih dahulu digunakan oleh ilmuan-ilmuan Islam di abad pertengahan. Ibnu Sina (W 428 H), yang dikenal sebagai ahli kedokteran, sudah lebih dulu menggunakan metode yang namanya “meneliti masalah, bereksperimen, menganalisa, mengobesrvasi lapangan, merumuskan hipotesa dan melakukan pengujian hipotesa”.
Imam Fakhruddin Ar-Razi (W 313 H), seorang mutakklim, filosof, juga merupakan seorang dokter yang menganalisa banyak penyakit dan bereksperimen pada bermacam-macam tumbuhan untuk dijadikan obat-obatan. Bahkan beliau juga dikenal sebagai dokter terbaik sepanjang masa. Karena itu, ketika Eropa masih menganggap penyakit sebagai azab Tuhan dan kutukan yang dibawa Iblis, sihir-sihir dan berbagai ritual mereka jadikan sebagai obat, kaum muslimin sudah memiliki dokter-dokter hebat yang ahli dalam bermacam-macam bidang.
Juga Ibnu an-Nafis (W 696 H) yang memiliki jasa luar biasa, beliau adalah penemu peredaran darah dalam tubuh manusia yang sebenarnya. Beliau menulis ensiklopedia dalam ilmu kedokteran sebanyak 80 jilid dan sudah lebih dahulu mempraktekkan pembedahan ilmiah terhadap tubuh manusia. sekalipun dalam dunia literatur Barat, dengan tanpa rasa bersalah mereka menisbahkan penemuan berharga ini kepada salah satu ilmuan mereka asal Inggris, William Harvey.
Nah, Jika metode tajribah' belum ada saat itu, mana mungkin bisa melahirkan banyak dokter-dokter hebat yang karyanya dijadikan rujukan selama berabad-abad.
Di saat Eropa masih terlelap dalam tidurnya, umat islam sudah berbicara mengenai illah dan ma’lul, sebab akibat, dan hukum kausalitas lainnya. Hukum kausalitas yang dicetus oleh filsuf Inggris, John Stuart Mill yang meliputi methode of agrement, methode of diference, dll, sudah lebih dulu dibahas oleh ulama Islam, bahkan pembahasannya lebih akurat.
Lihat saja dalam ilmu ushul fiqh sudah dibahas panjang lebar mengenai illah, “setiap ma’lul pasti memiliki illah, setiap kondisi yang berbeda tapi memiliki illah yang sama pasti akan melahirkan ma’lul yang sama”. Berbagai metode untuk mengisbatkan fara’ kepada asal juga sudah lebih dahulu ditulis, ada metode as-sabru wa at-taqsim, idhtiradu illah, dll.
Hingga tibalah abad ke-13 M yang menjadi titik pergerakan ilmiah di Eropa. Lebih-lebih setelah penaklukan Konstantinopel oleh Dinasati Utsmaniyah, banyak ulama Islam yang pindah ke Eropa dengan membawa serta buku-buku Arab. Maka berangkat dari sini, lahirlah para pembaharu di Eropa yang mengeluarkan bangsanya dari dunia primitif dan penuh takhayul menuju era Renaissance, dimulai dari Roger Bacon, Leonardo de Vinci, Francis Bacon, hingga Rene Descartes dan seterusnya.
jadi, uda jelaskan! Begitu besar peranan peradaban Islam dalam memicu perkembangan peradaban Barat di abad pertengahan. Kendatipun sebagian kaum intelek Eropa masa bodo terhadapan hal ini. Seperti halnya filsuf Prancis, Andre Lalande, padahal dia membaca sampai habis tulisannya Roger Bacon yang menjadi murid langsung ulama-ulama Arab, tapi Sir Andre sama sekali tidak menyebutkannya dan tak mempedulikan dengan yang namanya amanah ilmiah.
Namun, jauh dari itu, ada juga ilmuan Eropa yang jujur terhadap hal ini. Mereka mengakui bahwa di abad-abad pertengahan, Islam adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Le Bon misalnya, ilmuan asal Prancis ini mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab, terutama buku-buku keilmuwan hampir mejadi sumber satu-satunya bagi pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Ia juga menambahkan bahwa hanya buku-buku berbahasa Arab sajalah yang dijadikan rujukan oleh Roger Bacon, Leonardo de Vinci, Arnold de Philippe, dll.
Salah seorang oreantalis Prancis, Jacques Emmmanuel Sedillot pun mengakui, bahwa umat Islam terus-menerus mempelajari sesuatu dan tidak berhenti pada khazanah-khazanah keilmuan, tapi mereka terus mengkaji dan meneliti alam semesta dan memperdalam ilmu-ilmu pasti, dan pada hakikatnya mereka adalah guru kami di bidang ini.
Syekh Mustafa as-Siba’i juga menyebutkan dalam bukunya Min Rawai’i Hadhratina, bahwa banyak sekali pengaruh peradaban Islam terhadap dunia, terutama bagi Barat, hampir dalam berbagai bidang. Dalam ilmu tatanan negara dan perundang-undangan misalnya, saat Napoleon memasuki Mesir, banyak buku-buku fikh Maliki yang diterjemah ke bahasa Prancis untuk diadopsi sebagai undang-undang sipil negera mereka, terutama kitabnya Imam al-Khalil.
Dalam sastra pun demikian, syair-syair Arab adalah hal yang paling meyayat hati orang Eropa, sama seperti anak muda kita sekarang yang tergila-gila dengan lagu-lagu pop Barat yang keren. Hal ini tentunya membuat jengkel tokoh-tokoh Eropa yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi. Seperti yang tersebut dalam risalah seorang penulis Spanyol, al-Ghargo, “kenapa kita menyukai bahasa mereka para penakluk? Kita malah mengoleksi buku-buku mereka di rak-rak mahal kita, kenapa orang-orang cerdas sangat menyukai syair dan menggunakan bahasa mereka? Oh saudaraku! Di manakah sekarang para pembaca Injil, pembaca-pembaca Suhuf peninggaglan para Nabi? Kenapa generasi yang tumbuh hanya memperdalam bahasa Arab dan meninggalkan bahasa Latin dan Yunani? sungguh menyedihkan!” Dan begitu juga dalam bidang-bidang lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud merendahkan kelompok lain dan membangga-banggakan sejarah yang sudah berlangsung sangat lama, bahkan kita pun tak pernah melihat dan merasakannya. Sungguh menyedihkan, jika kita hanya bisa berbangga dengan kejayaan nenek moyang dan melupakan kenyataan pahit yang sedang kita rasakan. Namun, terlepas dari itu, tulisan ini hanya untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme Islam dan sikap patriotisme untuk agama bagi penulis sendiri juga bagi pembaca. Agar kita menyadari, bahwa untuk saat ini tidak ada dalam kamus umat Islam kata ”tenang-tenang saja”, karena kita sedang diatur oleh bangsa lain, seperti makanan di atas meja, siap dilahap oleh musuh kapanpun mereka mau.
Juga, agar kita punya motivasi dan tidak putus asa, bahwa Islam sekarang yang terbelakang juga pernah menjadi penguasa. Jadi, setelah melihat bagaimana kejayaan Islam di masa lampau dan bagaimana pengaruh Islam terhadap dunia, setidaknya jangan terlalu merasa keren ketika mengucapkan atau telah hafal kalam-kalam hikmah para intelek Barat, ataupun merasa bangga saat banyak mengenal nama-nama tokoh Eropa. Sebenarnya gak papa sih, tapi lebih keren lagi jika yang banyak kita kenal tokoh-tokoh muslim kita yang telah berjuang dan yang masih berjuang untuk agama hingga saat ini. Salam.
0 Komentar